Peran Rahasia Assassins Dalam Perang Salib (Bag.2)
Sebutan Hashyashyin atau dalam lidah orang Barat “Assassins”
berasal dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini pada
tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas
karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di
dalamnya, di wilayah Persia.
Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan
aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh
Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut Italia ini menulis:
“…Beberapa pemuda yang berumur duabelas hingga
duapuluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk
ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk
bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya,
mereka disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat
atu tertidur pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke
dalam taman.
Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan.
Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga.
Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin
memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang
hati akan melaksanakannya. Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan.
“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ” ujarnya.
Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh
Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
Old Man of the Mountain
Freya Stark, seorang wartawati Inggris berdarah
campuran Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad
Times di Bagdad, Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya.
Perempuan yang menguasai bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran
di tahun 1930-1931 mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark
merupakan perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah
bekas pusat kekuasaan kaum Assassins ini.
Stark membuat peta baru yang terperinci atas
wilayah tersebut dan catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang
sangat menarik berjudul “The Valley of the Assassins”.
Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar belakang
dan perkembangan kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada
literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam.
“Assassins itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari
aliran Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu
Nabi Muhammad, beserta Imam-Imam turunan dari garis Ali, ” demikian
Stark (hal. 159).
Aliran Ismailiyah memisahkan diri dari
aliran-aliran lainnya sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau
mengaku sebagai Syiah dan pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran
lainnya, maka Assassins tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan
sebagainya. Pandangan ‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih
condong kepada Komune (pada abad ke-20 dikenal sebagai paham
Komunisme)—penyamarataan sosial. Bahkan di dalam beberapa ritual
religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus yang kerap ditemukan
pada pengikut paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di dalam Taman
Alamut yang nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau Nero di
zaman Romawi.
Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb
dalam ‘Sejarah Daulat Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978)
menyatakan, “Kelompok Assassins dipimpin oleh sebuah keluarga Persia
yang kaya raya namun gila perang. Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk
merongrong dan menghancurkan secara berangsur-angsur terhadap segala
jenis keimanan Islam dengan suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara
halus dan pelan-pelan, melalui beberapa tahap (marhalah), menusukkan
kesangsian-kesangsian terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota
menjadi seseorang yang mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap
bebas pula (liberal). ” (hal. 61)
Paparan Stark di atas merupakan alat utama
pengrusakkan agama-agama samawi yang dilakukan oleh kaum Kabbalis.
Seperti yang telah diulas dalam banyak sekali literatur, ketiga agama
samawi yang dirusak oleh kaum Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan
Islam.
Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki
Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini
menyisipkan ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan
berantakan. Lantas kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan
sebagai ‘titah Tuhan kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti
halnya Hadits Qudsi di dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi
merupakan sesuatu yang benar berasal dari Allah SWT), yang disebutnya
sebagai Kitab Talmud. Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci
dan tinggi’ ketimbang Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang
dimurkai Allah SWT.
Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan
seorang Yahudi-Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang
tidak pernah bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh
berbeda, membuat Kitab Perjanjian Baru, yang disebutkan sebagai
penggenapan Bibel Perjanjian Lama (Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama
pun-seperti halnya Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat palsu sehingga
mustahil untuk kita menemukan mana yang asli dan mana yang tidak.
Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini
memasukkan seorang Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang Islam
bernama Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat
Islam ke dalam dua kutub besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak
ada saat Rasulullah SAW masih hidup.
Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa
keluarga Persia tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama
Dinasti Fathimiyah. Mesir sejak zaman purba merupakan salah satu pusat
berkembangnya ajaran Kabbalah.
Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di
masa kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki”
yakni Militer dan Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini
sebagian ada yang meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam.
Namun Dewan Penyihir Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi
Nabi Musa a. S dan menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi
Musa untuk memalingkan kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang
yang disusupkan itu bernama Samiri.
Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke
semua lini dan menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang dai
Ismailiyah yang berasal dari kota Rayy di Persia bernama Hassan
al-Sabbah muncul sebagai tokoh di Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang
kemudian mendirikan sekte Assassins dan memegang jabatan sebagai
Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok tersebut (The First
Grandmaster of the Assassins).
Kharisma dan kebrutalan Hassan al-Sabbah
menjadikannya dai yang amat disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi
bagi kelompoknya sendiri, melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme
dan intelijen secara sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.
“Ia menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa
ide baru ke dalam dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan
yang cuma karena haus darah telah dikembangkannya menjadi satu alat
politik berasaskan sumpah, ” tulis Sou’yb. Dan tentu saja, proyek-proyek
pembunuhan diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya
telah menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun
menangguk keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.
The Secret Garden atau Taman Rahasia yang
terletak di tengah Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi
para anggota baru yang kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang
dilakukan Assassins di Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang
dilakukan para Templar di Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni
berakhir dengan pesta seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci
menuju Tuhan.(Bersambung/Rizki Ridyasmara)